KOMPOS

Di beberapa wilayah Indonesia masih banyak memiliki permasalahan pertanian yaitu salah satunya adalah suatu lahan yang memiliki kondisi tanah kurang baik. Pemanfaatan sampah berbahan organik dapat mengatasi salah satu permasalahan tersebut yaitu dengan cara pengelolaan sampah organik menjadi kompos. Tanah yang memiliki kondisi tanah kurang baik seperti tekstur keras dan sulit diurai dapat mengganggu pertumbuhan. Hal tersebut disebabkan karena petani di zaman sekarang masih banyak menggunakan pupuk anorganik seperti Urea, Kalium Chlorida (KCl) dan Triple super Phosphate (TSP) dalam membudidayakan tanaman. Keadaan ini jika berlangsung terus menerus akan mengakibatkan keadaan tanah menjadi keras dan akar tanaman akan sulit berkembang sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman. Penggunaan pupuk buatan/kimia dan pestisida saat ini oleh petani kadang kala sudah berlebihan melebihi takaran dan dosis yang dianjurkan, sehingga menggangu keseimbangan ekosistem, disamping itu tanah cendrung menjadi tandus, organisme-organisme pengurai seperti zat-zat rensik, cacing-cacing tanah menjadi habis, demikian juga binatang seperti ular pemangsa tikus, populasi menurun drastis. Pemakaian pupuk pada waktu yang bersamaan (awal musim hujan) oleh petani, mengakibatkan sering terjadi kelangkaan pupuk di pasaran, walaupun ada harganya sangat tinggi, sehingga sebagian petani tidak sanggup membeli, akibatnya tanaman tidak dipupuk, produksi tidak optimal. Perlu ada trobosan untuk mengatasi hal tersebut, salah satu diantaranya adalah pembuatan pupuk organik (Kompos).

Kompos merupakan pupuk bahan organik yang bisa terbuat dari sisa dedauan, jerami, alang-alang, rumput-rumputan, dedak padi bahkan kotoran hewan dan limbah dapur. Kompos atau humus adalah sisa-sisa mahluk hidup yang telah mengalami pelapukan, bentuknya sudah berubah seperti tanah dan tidak berbau. Kompos dapat memperbaiki produktivitas dalam tanah, secara fisik, kimia dan biologis. Secara fisik, kompos dapat menggemburkan tanah, memperbaiki aeresi dan drainasi. Secara kimia, kompos dapat meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan ketersediaan unsur hara. Pengomposan adalah proses bahan organik mengalami penguraian secacara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut seperti mikroba-mikroba agar kompos terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan aeresi dan penambahan aktivator pengomposan. Kompos memiliki rata-rata persentase bahan organik sampah mencapai ±80%, sehingga pengomoposan merupakan alternatif penanganan yang sesuai.

Kompos memiliki beberapa jenis yaitu :

  1. Kompos cacing merupakan kompos yang dihasilkan melalui kerja sama antara mikroorganisme dan cacing tanah dalam mekanisme proses penguraian bahan organik. Kehadiran cacing tanah membantu proses penguraian bahan-bahan organik yang kemudian akan diurai kembali oleh mikroorganisme. Kompos cacing dikenal juga sebagai casting. Casting mengandung unsur-unsur hara yang dibutuhkan bagi tanaman seperti fosfor, nitrogen, mineral, dan vitamin. Selain itu, nilai C atau N dari casting ini kurang dari 20 sehingga dapat digunakan untuk pemupukan.
  2. Kompos Bagasse merupakan pupuk yang berasal dari ampas tebu hasil limbah padat industri pabrik gula. Limbah bagase mempunyai potensi yang besar sebagai bahan organik untuk meningkatkan kesuburan tanah. Limbah bagase dapat diolah menjadi pupuk dan diaplikasikan kembali ke tanah untuk menyuburkan tanah dan membantu proses pertumbuhan tanaman tebu. Namun dalam proses pembuatannya diperlukan waktu cukup lama dan perlakuan yang khusus seperti penambahan mikroorganisme selulotik karena nisbah C atau N dari bagase yang tinggi sekitar 220.
  3. Kompos Bokashi adalah pupuk yang dihasilkan dari bahan organik yang difermentasikan dengan teknologi Effective Microorganisms 4 (EM4). Jenis mikroorganisme yang terdapat dalam EM4 antara lain Lactobacillus, Actinomycetes, Khamir, dan Streptomyces. EM4 adalah suatu kultur campuran terdiri dari mikroorganisme dalam media cair berfungsi untuk memfermentasikan bahan-bahan organik dalam tanah dan sampah, sehingga menguntungkan bagi kesuburan tanah. Selain itu, EM4 membantu dalam merangsang perkembangan mikroorganisme dan bermanfaat bagi tanaman, seperti pengikat nitrogen, pelarut fosfat, dan mikroorganisme yang bersifat merugikan dan menimbulkan penyakit tanaman. EM4 juga mampu mempercepat proses dekomposisi sampah organik sehingga cocok digunakan untuk pengomposan.

Menurut Indriani (2008) kompos memiliki beberapa sifat yang menguntungkan yaitu :

  1. Memperbaiki struktur tanah berlempung sehingga menjadi ringan.
  2. Memperbesar daya ikat tanah berpasir sehingga tanah tidak berderai.
  3. Menambah daya ikat air pada tanah.
  4. Mengandung hara yang lengkap, walaupun jumlahnya sedikit
  5. Memperbaiki drainase dan tata udara dalam tanah.
  6. Meningkatkan daya ikat tanah terhadap zat hara.
  7. Membantu proses pelapukan bahan mineral
  8. Memberikan ketersediaan bahan makanan bagi mikroba
  9. Menurunkan aktivitas mikroorganisme yang merugikan

Proses pengomposan yang terjadi secara alami berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Sebagai contoh, pembuatan kompos memerlukan waktu 2—3 bulan, bahkan ada yang 6—12 bulan, tergantung pada efektivitas dekomposer dan bahan baku yang digunakan. Bahan baku yang digunakan sebaiknya material organik yang mempunyai perbandingan C dan N tinggi (lebih dari 30:1). Beberapa diantaranya seperti serbuk gergaji, sekam padi dan kotoran kambing. Suhu optimal dalam proses pengomposan berkisar 35-45oC dengan tingkat kelembaban 30-40%.

Tahapan cara membuat kompos dengan proses anaerob :

  1. Siapkan bahan organik yang akan dikomoposkan. Sebaiknya memilih bahan yang lunak dari limbah tanaman atau hewan seperti hijauan tanaman, ampas tahu, limbah organik rumah tangga, kotoran ayam, dll. Buat bahan tersebut hingga halus, semakin halus maka semakin baik.
  2. Siapkan decomposer Efektif Mikroorganisme (EM4) sebagai starter. Campurkan 1cc EM4 dengan 1 liter air dan 1 gram gula/molase.
  3. Ambil terpal atau alas untuk meletakan bahan organik yang telah dihaluskan. Campurkan serbuk gergaji pada bahan tersebut gergaji pada bahan tersebut untuk menambah nilai perbandingan C dan N. Kemudian campurkan larutan EM4 yang telah dilaurtkan. Aduk sampai merta, jaga kelembaban pada kisaran 30-40%, apabila kurang lembab bisa menambahkan air.
  4. Masukan bahan organik yang sudah dicampurkan ke dalam plastic/tempat yang kedap udara. Kemudian tutup rapat-rapat dan diamkan hingga 3-4 hari untuk menjalani proses fermentasi. Suhu pengomposan pada saat fermentasi akan berkisar 35-45o.
  5. Setelah empat hari cek kematangan kompos. Pupuk kompos yang matang dicirikan dengan baunya yang harum seperti tape.

Ciri-ciri kompos yang sudah jadi dan baik seperti warna tanahnya coklat kehitaman, dan kompos yang baik mengeluaran aroma lemah seperti bau tanah atau bau humus hutan. Apabila dipegang dan dikepal, kompos akan menggumpal. Apabila ditekan dengan lunak, gumpalan kompos akan hancur dengan mudah. Kompos yang sudah jadi, sebaiknya disimpan sampai 1 atau 2 bulan untuk mengurangi unsur beracun. Hal yang perlu diperhatikan adalah jaga kelembabanya jangan sampai < 20% dari bobotnya, jaga jangan sampai kena sinar matahari langsung (ditutup) dan jaga jangan sampai terkena air/hujan secara langsung. Keadaan kompos yang mongering akan mengalami kehilangan unsur hara yang terkandung di dalamnya dan apabila kompos ditambahkan air kembali maka unsur hara yang hilang tadi tidak dapat kembali lagi.

 

Sumber : Aruni Nadhilah Trivanni